Sastra Populer ( Teenlit dan Chick Lit ) Yang Mencoba Serius

Standar

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sastra merupakan sebuah sarana komunikasi yang efektif, sebagai mediator dalam menggambarkan pola hidup dan kebiasaan-kebiaaan masyarakat. Lotman seorang kritikus sastra asal Inggris mengungkapkan bahwa sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang tidak terbatas dalam satu semesta imajiner yang terbatas. Demikian halnya dengan kehadiran novel populer dengan ciri khas penampilannya sebagai sebuah karya sastra yang imajiner juga memunculkan model-model signifikasi dengan aspek-aspek di mana masyarakat mampu mengartikulasikan dunia populer itu sendiri.

Sastra populer lebih cenderung dikaitkan dengan kondisi perkembangan kebutuhan masyarakat modern, yang menuntut kedisiplinan, profesionalisme, dan kerja keras. Dalam posisi tersebut, sastra populer dikatakan sebagai sastra pelarian, artinya sebagai upaya menghibur diri dari kenyataan hidup keseharian yang monoton dan menjemukan. Adapun sastra yang ‘sastra’ atau sastra serius (untuk menyebut sastra luhur) bukan sekedar merekam kembali alam kehidupan, tetapi membincangkannya kembali melalui pertukangan, manipulasi, dan rasa bahasa.

Ida Rochani Adi seorang dosen sastra populer UGM menjelaskan bahwa suatu karya sastra disebut populer diantaranya karena tema, cara penyajian teknik bahasa, dan penulisannya mengikuti pola umum yang tengah digemari masyarakat pembacanya, termasuk di Indonesia. Sastra populer tidak hanya sekedar menghibur, tetapi juga dinikmati sebagai karya seni sehingga sastra populer terutama dalam bentuk novel tidak saja dipandang sebagai barometer perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Telah banyak ahli membicarakan sastra populer dalam kaitannya dengan masyarakat, namun jelas pula bahwa banyak diantaranya sama sekali tidak bertolak dari gagasan adanya perbedaan antara yang populer dan elit dalam sastra.

Antara Teenlit dan Chick Lit

Di Indonesia, kehadiran sastra populer diawali pada tahun 1890an, hadirnya bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan penggunaan bahasa Melayu rendahan yang hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Selanjutnya, sekitar tahun 1970an hingga 1990an, fiksi populer kembali bermunculan, ditandai dengan terbitnya novel Cintaku di Kampus Biru, Lupus, Balada si Roy dan Jejak-jejak Jejaka. Novel-novel tersebut menjadikan remaja sebagai segmentasi utamanya. Kemudian Pada dekade 2000an, bermunculanlah novel-novel berjenis chick lit dan teenlit. Kelahiran chick lit dan teenlit menjadi salah satu fenomena literer yang menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan pembaca karya sastra. Fenomena kemunculan novel-novel tersebut merupakan salah satu penanda bangkitnya kembali sastra populer dalam dunia kesusastraan Indonesia yang sempat mati suri.

Pada perkembangannya, chick lit dan teenlit telah berhasil menciptakan dunianya sendiri, mulai dari pembaca, percetakan, pasar hingga melahirkan komunitas-komunitas penggemar yang setia. Selain itu, kehadiran novel-novel populer berjenis chick lit dan teenlit tersebut juga memicu kemunculan penulis-penulis muda yang kreatif dan energik. Walaupun pada tahun-tahun sebelumnya juga terdapat karya-karya dari penulis muda, tetapi intensitas kemunculannya tidak sebesar penulis-penulis muda masa kini.

Novel berjenis chick lit merupakan singkatan dari chick literature, yang berarti karya sastra yang bercerita tentang kehidupan wanita muda metropolitan masa kini. Salah satu penanda utama novel berjenis chick lit adalah tokoh utama yang kebanyakan perempuan dan digambarkan sebagai tokoh dewasa berusia sekitar 25–35 tahun yang tegar, mandiri, berpikiran maju, dan bergaya hidup modern yang didukung dengan bentuk penyajian yang ringan, menghibur, dan bertutur tidak formal.

Teenlit yang juga berarti teen literature jelas mengarah pada pembaca usia belasan. Penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian serta kisah dan pemilihan bahasa yang kental dengan kehidupan kaum remaja dan anak sekolahan dengan serta-merta mampu membangkitkan keterlibatan pembacanya. Pada novel-novel teenlit, remajalah yang menjadi sentralnya. Pergaulan seputar sekolah, persahabatan dengan gaya berkelompok atau dalam istilah remaja disebut “geng”, gaya hidup mewah dan glamour, percintaan, sampai kenakalan remaja menjadi hal yang identik dalam novel-novel teenlit.

Teenlit  dan Chick Lit yang tergugat

Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. teenlit (demikian pula dengan chick lit) juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia.

Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel Bunga karya Korrie Layun Rampan, teenlit jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang “taat kaidah”, tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan teenlit maupun chick lit tidak akan bertahan lama.

Selain itu, teenlit dan chick lit  juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan teenlit dan chick lit sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel teenlit maupun chick lit dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.

Dari segi isi, teenlit dan chick lit juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang teenlit dan chick lit.

Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita cermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika teenlit ataupun chicklit hadir.

Meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran teenlit dan chick lit itu sendiri memang bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda untuk berani berekspresi, teenlit dan chick lit terbukti mampu meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat. teenlit maupun chick lit juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan alternatif jati diri.

Hanya saja, sebuah tulisan yang cenderung bersifat menghibur umumnya tidak akan bertahan lama. Apalagi bila tidak memiliki nilai yang dalam. Tidak heran apabila genre teenlit dan chick lit suatu waktu akan tergerus oleh waktu dan tergantikan dengan genre tulisan yang lain berbeda dengan sastra yang sifatnya serius. Oleh karena itu, teenlit dan chick lit masih harus bertransformasi untuk mempertahankan keberadaannya. Mungkin sudah saatnya untuk menghadirkan aspek-aspek lain, misalnya substansi pergeseran budaya masyarakat agraris ke urban.

Tinggalkan komentar